Ahmad Dani
Jum'at, 3 Februari 2012 - 11:46 wib
Polisi akhirnya memutuskan akan menjerat Afriani Susanti, pengemudi Xenia yang mengakibatkan 9 orang tewas di Tugu Tani, Jakarta Pusat, dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Reaksi beragam, bagi korban ini suatu pengobat luka tapi bagi Afriani dan keluarga ini suatu ketidakadilan.
Adil dalam ketentuan hukum memang agak sedikit berbeda dengan adil dalam kacamata sosial. Jelas, jika digunakan kacamata sosial, pasal 338 KUHP yang dijatuhkan kepada Afriani masih menuai kontroversi. Tapi, ini adalah hukum, di mana adil adalah menjatuhkan hukuman sesuai pada tempatnya.
Adagium hukum yang mengatakan membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah memang hanya ada di tataran wacana para pemutus palu sidang. Tapi, berkaca dari kasus Afriani, tampaknya dunia hukum Tanah Air mendapatkan tantangan baru untuk menjawabnya.
Hukuman secara sosial dari masyarakat terhadap Afriani sudah dilakukan. Bahkan, permohonan maaf yang dilontarkan Afriani ditolak pihak korban karena Afriani diminta datang langsung kepada keluarga korban. Hal ini pun mustahil karena polisi melarang Afriani mendatangi korban. Afriani sudah menyatakan salah dan meminta maaf, tapi cukupkah?
Tentu jawabannya adalah tidak. Pasal 338 KUHP setidaknya menjawab bahwa Afriani masih harus menanggung kesalahan hukum yang luar biasa tinggi, yakni pembunuhan. Menurut keterangan polisi, hanya ada tiga kasus kecelakaan lalu lintas di Tanah Air yang dijerat dengan 338 KUHP, yakni pada tahun 1994 dan 2005, dan ketiga adalah kasus Afriani. Dua kasus pertama, si pelaku divonis bersalah dan menjalani hukuman 15 tahun penjara. Mungkinkah ini terulang kepada Afriani?
Polisi selaku pihak yang sedang mengumpulkan bukti dan fakta untuk dibawa ke persidangan dituntut serius dan tak boleh main-main. Jangan sampai penjeratan pasal pembunuhan Afriani ini tak memiliki bukti kuat sehingga Afriani bisa bebas.
Usulan mendakwakan dengan pasal berlapis pun muncul. Yang paling mendekati adalah pasal 311 ayat (5) UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Karena dari olah TKP dan investigasi yang dilakukan, unsur sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa seseorang terpenuhi, seperti ngotot tetap menyetir dalam kondisi mabuk meski sudah disarankan untuk naik taksi dan melaju di atas kecepatan 89,24 km/jam di jalan protokol yang kecepatannya hanya dibatasi 60-70 km/jam untuk kondisi lengang.
Dua pasal di atas rasanya harus diterapkan polisi agar Afriani mendapatkan hukuman yang adil dalam pengertian hukum.
Sumber : www.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar